Assalamu'alaikum Warohmatullohi wabarokatuh !
Selamat Datang & Terima Kasih Atas Kunjungan Anda Di Situs Kami
Untuk Order Cepat SMS/WA Kami ke 085710543828 Format Pemesanan Ketik: Psn#NamaProduk#Jumlah#Nama#AlamatLengkap#NoHP#Bank
Sebelum belanja di Toko Online Kami, ada baiknya agar Anda membaca terlebih dahulu menu CARA PEMESANAN & CARA PEMBAYARAN. Kami Menjamin RAHASIA ANDA, setiap Paket yang kami kirim tertutup rapat untuk umum. Harga yang Kami cantumkan di Situs ini adalah Harga Eceran. Untuk Harga GROSIR silahkan Hubungi Kami via Pin BB: 53539271, via Telp: 085217805323, via E-mail: walafan@gmail.com atau SMS ke 085710543828
Tampilkan postingan dengan label Gambar Islami. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gambar Islami. Tampilkan semua postingan

SKEMA MAHRAM (Orang-Orang Yang Haram Dinikahi)

Klik gambar untuk melihat tampilan lebih besar..!

MAHRAM

Mungkin di antara kita ada yang tidak mengetahui apa itu mahrom dan siapa saja yang termasuk mahramnya. Padahal mahram ini berkaitan dengan banyak masalah. Seperti tidak bolehnya wanita bepergian jauh (bersafar) kecuali dengan mahramnya. Tidak boleh seorang laki-laki dengan wanita berduaan kecuali dengan mahramnya. Wanita dan pria tidak boleh jabat tangan kecuali itu mahramnya, dst.

Yang dimaksud mahram adalah wanita yang haram dinikahi oleh laki-laki. Silahkan buka QS. An Nisa`: 22-24.

Mahram di sini terbagi menjadi dua macam:
[1] Mahram muabbad, artinya tidak boleh dinikahi selamanya; dan [2] Mahram muaqqat, artinya tidak boleh dinikahi pada kondisi tertentu saja dan jika kondisi ini hilang maka menjadi halal. Berikut kami rinci secara ringkas.

#Mahram Muabbad

Mahram muabbad dibagi menjadi tiga:

[1] Mahram muabbad karena nasab
1. Pokok-pokok pertalian darah; bapak dan kakek-kakeknya wanita dan terus ke atas, baik (kakek-kakek itu) dari pihak bapak atau pihak ibu wanita tersebut.

2. Cabang-cabang pertalian darah, mereka adalah anak-anak lelakinya wanita dan cucu lelaki dari anak laki-lakinya wanita serta cucu lelaki dari anak perempuannya wanita dan terus ke bawah.

3. Saudara-saudara lelakinya wanita, baik itu saudara sekandung atau sebapak atau seibu. Sepupu laki-laki bukan mahram

4. A'mam (Paman-paman)nya wanita tersebut, baik itu paman-paman yang merupakan saudara-saudara lelaki kandung bapaknya wanita atau saudara-saudara lelaki sebapak dengan bapaknya wanita atau saudara-saudara lelaki seibu dengan bapaknya wanita tersebut dan baik mereka itu adalah paman-pamannya wanita tersebut atau pamannya bapak atau ibu wanita tersebut, karena paman seorang manusia adalah paman baginya dan keturunannya dan terus ke bawah.

5. Akhwal (Paman-paman)nya wanita tersebut, baik itu paman-paman yang merupakan saudara-saudara lelaki kandung ibunya wanita atau saudara-saudara lelaki sebapak dengan ibunya wanita atau saudara-saudara lelaki seibu dengan ibunya wanita dan baik mereka itu adalah akhwalnya wanita tersebut atau akhwalnya bapak atau ibu wanita tersebut, karena khal seorang manusia adalah paman baginya dan keturunannya lalu terus ke bawah.

6. Anak-anak lelaki dari saudara-saudara lelakinya wanita (keponakan) dan anak-anak lelaki dari keponakan (anak lelaki dari saudara lelakinya) wanita tersebut dan anak-anak lelaki dari keponakan (anak perempuan dari saudara lelakinya) wanita tersebut sampai terus ke bawah, baik mereka itu sekandung atau sebapak atau seibu.

7. Anak-anak lelaki dari saudara-saudara perempuannya wanita (keponakan) dan anak-anak lelaki dari keponakan (anak lelaki dari saudara perempuannya) wanita tersebut dan anak-anak lelaki dari keponakan (anak perempuan dari saudara perempuannya) wanita tersebut sampai terus ke bawah, baik mereka itu sekandung, sebapak atau seibu.

Dan mahram-mahram sepersusuan seperti mahram-mahran dari pertalian darah, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada Aisyah radhiyallahu 'anha ketika beliau berhijab di depan pamannya sepesusuan yang bernama Aflah:

Artinya: "Janganlah kamu berhijab darinya, karena sesungguhnya seseorang menjadi mahram dari sepersusuan sebagaimana mahram dari pertalian darah". Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.

[2] Mahram muabbad karena ikatan perkawinan (mushoro’ah) ada empat laki-laki:

1. Anak-anak lelaki dari suaminya wanita (anak tiri) dan anak-anak lelaki dari anak-anak lelaki suaminya wanita(cucu tiri) dan anak-anak lelaki dari anak-anak perempuannya suami wanita tersebut (cucu tiri).

2. Bapak suaminya wanita (mertua) dan kakek-kakek suaminya baik dari pihak bapak atau pihak ibu dan terus ke atas.

3. Suami anak perempuannya wanita (menantu) dan suami cucu (anak perempuan dari anak lelaki)nya wanita tersebut dan suami cucu (anak perempuan dari anak perempuan)nya wanita tersebut dan terus ke bawah.

Tiga jenis ini tetap kemahramannya hanya dengan akad yang sah terhadap istri meskipun ia (suami) menceraikannya sebelum menggaulinya.

4. Suami dari ibunya wanita (bapak tiri) dan suami neneknya dan terus ke atas, baik neneknya dari pihak bapak atau pihak ibu, akan tetapi tidak tetap kemahraman bagi mereka kecuali setelah menggauli, yaitu bersetubuh dengannya dengan nikah yang sah, jikalau seseorang menikahi seorang wanita kemudian ia ceraikan sebelum melakukan jima' maka ia tidak boleh menjadi mahram untuk anak-anak perempuan wanita tersebut.

[3] Mahram muabbad karena persusuan (rodho’ah):
berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada Aisyah radhiyallahu 'anha ketika beliau berhijab di depan pamannya sepesusuan yang bernama Aflah:

«لاَ تَحْتَجِبِى مِنْهُ فَإِنَّهُ يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ»

Artinya: "Janganlah kamu berhijab darinya, karena sesungguhnya seseorang menjadi mahram dari sepersusuan sebagaimana mahram dari pertalian darah". Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.

Jadi, mahram karena sepersusuan itu sama dengan mahram karena nasab.

___________________
PENGECUALIAN, MAHRAM MU`AQQAT INI BAGI LAKI-LAKI.

Mahram Muaqqat {sementara}

Pertama: Saudara perempuan dr istri (ipar).

Tidak boleh bagi seorang pria untuk menikahi saudara perempuan dari istrinya dalam satu waktu berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun jika istrinya meninggal dunia atau ditalak oleh si suami, maka setelah itu ia boleh menikahi saudara perempuan dari istrinya tadi.

Kedua: Bibi (dari jalur ayah atau ibu) dari istri.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلاَ عَلَى خَالَتِهَا

“Tidak boleh seorang wanita dimadu dengan bibi (dari ayah atau ibu) -nya.” (HR. Muslim no. 1408)

Namun jika istri telah dicerai atau meninggal dunia, maka laki-laki tersebut boleh menikahi bibinya.

Sumber: CHM Rumaysho dan Artikel Ustadz Ahmad Zainuddin

Baarakallaahu fiik

Semarang, 3 Jumadil Ula 1433H
Ummu Raziin


URUTAN WALI NIKAH

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan,

Hubungan status wali nikah ada lima:
  1. Bapak dan silsilah keluarga diatasnya, mencakup ayah, kakek dari bapak dan seterusnya ke atas.
  2. Anak dan sisilsilah anggota keluarga dibawahnya, mencakup anak, cucu, dan seterusnya ke bawah.
  3. Saudara laki-laki.
  4. Paman dari pihak bapak.
  5. Wala’ (orang yang membebaskan dirinya dari perbudakan atau mantan tuan).

Jika ada beberapa orang yang berasal dari jalur hubungan yang sama (misalnya ada bapak dan kakek) maka didahulukan yang kedudukannya lebih dekat (yaitu bapak). Barulah kemudian beberapa orang yang kedudukannya sama, misalnya antara saudara kandung dengan saudara sebapak, maka didahulukan yang lebih kuat hubungannya, yaitu saudara kandung. (Syarhul Mumthi’, 12: 84)

Al-Buhuti mengatakan, “Lebih didahulukan bapak si wanita (pengantin putri) dalam menikahkannya. Alasannya, karena bapak adalah orang yang paling paham dan paling kasih sayang kepada putrinya. Setelah itu, orang yang mendapatkan wasiat (wakil) dari bapaknya (untuk menikahkan putrinya), karena posisinya sebagaimana bapaknya. Setelahnya adalah kakek dari bapak ke atas, dengan mendahulukan yang paling dekat, karena wanita ini masih keturunannya, dalam posisi ini (kakek) disamakan dengan bapaknya. Setelah kakek adalah anak si wanita (jika janda), kemudian cucunya, dan seterusnya ke bawah, dengan mendahulukan yang paling dekat. Ini berdasarkan hadis dari Ummu Salamah, bahwa setelah masa iddah beliau berakhir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang untuk melamarnya. Ummu Salamah mengatakan, “Wahai Rasulullah, tidak ada seorangpun dari waliku yang ada di sini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada seorangpun diantara walimu, baik yang ada di sini maupun yang tidak ada, yang membenci hal ini.” Ummu Salah mengatakan kepada putranya, “Wahai Umar, nikahkanlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Umar pun menikahkannya. (HR. Nasa’i). Selanjutnya (setelah anaknya), adalah saudaranya sekandung, kemudian saudara sebapak, kemudian anak saudara laki-laki (keponakan) dan seterusnya ke bawah. Didahulukan anak dari saudara sekandung dari pada saudara seayah. Setelah itu barulah paman (saudara bapak) sekandung, kemudian paman (saudara bapak) sebapak, anak lelaki paman (sepupu dari keluarga bapak). Selanjutnya adalah orang yang memerdekakannya (dari perbudakan). Jika semua tidak ada maka yang memegang perwalian adalah hakim atau orang yang mewakili (pegawai KUA resmi).
Sumber: Ar-Raudhul Murbi’, hal. 335 – 336

Keterangan:
  1. Berdasarkan keterangan di atas, tidak ada perwalian dari pihak ibu atau saudara perempuan. Seperti kakek dari ibu, paman dari ibu, saudara se-ibu, sepupu dari keluarga ibu, atau keponakan dari saudara perempuan.
  2. Ayah tiri tidak bisa menjadi wali.

Wajib memperhatikan urutan perwalian dalam nikah
Wali wanita yang berhak untuk menikahkan seseorang adalah wali yang paling dekat, sebagaimana urutan yang disebutkan di atas. Tidak boleh mendahulukan wali yang jauh, sementara wali yang dekat masih ada ketika akad nikah.

Ibn Qudamah mengatakan, “Apabila ada wali yang lebih jauh menikahkan seorang wanita, sementara wali yang lebih dekat ada di tempat, kemudian si wanita bersedia dinikahkan, sementara wali yang lebih dekat tidak mengizinkan maka nikahnya tidak sah. Inilah pendapat yang diutarakan as-Syafi’i…. karena wali yang jauh tidak berhak, selama wali yang dekat masih ada, sebagaimana hukum warisan (keluarga yang lebih jauh tidak berhak, selama masih ada keluarga yang lebih dekat).” (Al-Mughni, 7: 364)

Al-Buhuti mengatakan, “Jika wali yang lebih jauh menikahkannya, atau orang lain menjadi walinya, meskipun dia hakim (pejabat KUA), sementara tidak ada izin dari wali yang lebih dekat maka nikahnya tidak sah, karena tidak perwalian ketika proses akad, sementara orang yang lebih berhak (untuk jadi wali) masih ada.” (Ar-Raudhul Murbi’, 336)

Contoh kasus:
1. Anak perempuan dari hasil hubungan zina
Anak dari hasil hubungan zina tidak memiliki bapak. Bapak biologis bukanlah bapaknya. Karena itu, tidak boleh dinasabkan ke bapak biologisnya. Dengan demikian, dia tidak memiliki keluarga dari pihak bapak. Siapakah wali nikahnya? Orang yang mungkin bisa menjadi wali nikahnya adalah
a. Anak laki-laki ke bawah, jika dia janda yang sudah memiliki anak
b. Hakim (pejabat resmi KUA)
Bapak biologis, kakek maupun paman dari bapak biologis tidak berhak menjadi wali.

2. Wanita yang orang tuanya dan semua keluarganya non muslim
Diantara syarat perwalian adalah keasamaan dalam agama. Orang kafir tidak berhak menjadi wali bagi wanita muslimah. Dalam kondisi semacam ini, yang bisa menjadi wali wanita adalah pejabat KUA.

Allahu a’lam.

Oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

Baca selengkapnya:

INILAH WAHHABI SESUNGGUHNYA YANG DIANGGAP SESAT OLEH ULAMA-ULAMA MAROKO…!!

INILAH WAHHABI SESUNGGUHNYA…!!

Wajib diketahui oleh setiap kaum Musimin di manapun mereka berada bahwasanya firqoh Wahhabi adalah Firqoh yang sesat, yang ajarannya sangat berbahaya bahkan wajib untuk dihancurkan. Tentu hal ini membuat kita bertanya-tanya, mungkin bagi mereka yang PRO akan merasa marah dan sangat tidak setuju, dan yang KONTRA mungkin akan tertawa sepuas-puasnya.. Maka siapakah sebenarnya Wahabi ini??

Bagaimanakah sejarah penamaan mereka?? Marilah kita simak dialog Ilmiah yang sangat menarik antara Syaikh Muhammad bin Sa’ad Asy Syuwai’ir dengan para masyaikh/dosen-dosen disuatu Universitas Islam di Maroko...

Salah seorang Dosen itu berkata: “Sungguh hati kami sangat mencintai Kerajaan Saudi Arabia, demikian pula dengan jiwa-jiwa dan hati-hati kaum muslimin sangat condong kepadanya,dimana setiap kaum muslimin sangat ingin pergi kesana, bahkan antara kami dengan kalian sangat dekat jaraknya. Namun sayang, kalian berada diatas suatu Madzhab, yang kalau kalian tinggalkan tentu akan lebih baik, yaitu Madzhab Wahabi.”

Kemudian Asy Syaikh dengan tenangnya menjawab: “Sungguh banyak pengetahuan yang keliru yang melekat dalam pikiran manusia, yang mana pengetahuan tersebut bukan diambil dari sumber-sumber yang terpercaya, dan mungkin kalian pun mendapat khabar-khabar yang tidak tepat dalam hal ini.

Baiklah, agar pemahaman kita bersatu, maka saya minta kepada kalian dalam diskusi ini agar mengeluarkan argumen-argumen yang diambil dari sumber-sumber yang terpercaya,dan saya rasa di Universitas ini terdapat Perpustakaan yang menyediakan kitab-kitab sejarah islam terpercaya. Dan juga hendaknya kita semaksimal mungkin untuk menjauhi sifat Fanatisme dan Emosional.”

Dosen itu berkata: “saya setuju denganmu, dan biarkanlah para Masyaikh yang ada dihadapan kita menjadi saksi dan hakim diantara kita.”

Asy Syaikh berkata: “saya terima, Setelah bertawakal kepada Allah, saya persilahkan kepada anda untuk melontarkan masalah sebagai pembuka diskusi kita ini.”

Dosen itu pun berkata:

“Baiklah kita ambil satu contoh, ada sebuah fatwa yang menyatakan bahwa firqoh wahabi adalah Firqoh yang sesat. Disebutkan dalam kitab Al-Mi’yar yang ditulis oleh Al Imam Al-Wansyarisi, beliau menyebutkan bahwa Al-Imam Al-Lakhmi pernah ditanya tentang suatu negeri yang disitu orang-orang Wahabiyyun membangun sebuah masjid, “Bolehkan kita Sholat di Masjid yang dibangun oleh orang-orang wahabi itu ??” maka Imam Al-Lakhmi pun menjawab:  “Firqoh Wahabiyyah adalah firqoh yang sesat, yang masjidnya wajib untuk dihancurkan, karena mereka telah menyelisihi kepada jalannya kaum mu’minin, dan telah membuat bid’ah yang sesat dan wajib bagi kaum muslimin untuk mengusir mereka dari negeri-negeri kaum muslimin “.

(Wajib kita ketahui bahwa Imam Al-Wansyarisi dan Imam Al-Lakhmi adalah ulama ahlusunnah)

Dosen itu berkata lagi: “Saya rasa kita sudah sepakat akan hal ini, bahwa tindakan kalian adalah salah selama ini,”

Kemudian Asy Syaikh menjawab: ”Tunggu dulu..!! kita belum sepakat, lagipula diskusi kita ini baru dimulai, dan perlu anda ketahui bahwasannya sangat banyak fatwa yang seperti ini yang dikeluarkan oleh para ulama sebelum dan sesudah Al-Lakhmi, untuk itu tolong anda sebutkan terlebih dahulu kitab yang menjadi rujukan kalian itu !”

Dosen itu berkata: ”Anda ingin saya membacakannya dari fatwanya saja, atau saya mulai dari sampulnya ??”

Asy Syaikh menjawab: ”Dari sampul luarnya saja.”

Dosen itu kemudian mengambil kitabnya dan membacakannya: ”Namanya adalah Kitab Al-Mi’yar, yang dikarang oleh Ahmad bin Muhammad Al-Wansyarisi. Wafat pada tahun 914 H di kota Fas, di Maroko.”

Kemudian Asy Syaikh berkata kepada salah seorang penulis di sebelahnya: “Wahai syaikh, tolong catat baik-baik, bahwa Imam Al-Wansyarisi wafat pada tahun 914 H. Kemudian bisakah anda menghadirkan biografi Imam Al- Lakhmi??”

Dosen itu berkata: “Ya.”

Kemudian dia berdiri menuju salah satu rak perpustakaan, lalu dia membawakan satu juz dari salah satu kitab-kitab yang mengumpulkan biografi ulama. Didalam kitab tersebut terdapat biografi Ali bin Muhammad Al-Lakhmi, seorang Mufti Andalusia dan Afrika Utara.

Kemudian Asy Syaikh berkata: “Kapan beliau wafat?”

Yang membaca kitab menjawab: “Beliau wafat pada tahun 478 H“

Asy Syaikh berkata kepada seorang penulis tadi: “Wahai syaikh tolong dicatat tahun wafatnya Syaikh Al-Lakhmi” kemudian ditulis.

Lalu dengan tegasnya Asy Syaikh berkata : “Wahai para masyaikh….!!! Saya ingin bertanya kepada antum semua …!!! Apakah mungkin ada ulama yang memfatwakan tentang kesesatan suatu kelompok yang belum datang (lahir) ???? kecuali kalau dapat wahyu????” Mereka semua menjawab: “Tentu tidak mungkin, Tolong perjelas lagi maksud anda !”

Asy syaikh berkata lagi: “Bukankah wahabi yang kalian anggap sesat itu adalah dakwahnya yang dibawa dan dibangun oleh Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab????”

Mereka berkata: “Siapa lagi???”

Asy Syaikh berkata: “Coba tolong perhatikan..!!! Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab lahir pada tahun 1115 H dan wafat pada tahun 1206 H, …

Nah, ketika Al-Imam Al-Lakhmi berfatwa seperi itu, jauh RATUSAN TAHUN lamanya sebelum syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab lahir..bahkan sampai 22 generasi ke atas dari beliau sama belum ada yang lahir..apalagi berdakwah..

KAIF ??? GIMANA INI???”  (Merekapun terdiam beberapa saat..)

Kemudian mereka berkata: “Lalu sebenarnya siapa yang dimaksud Wahabi oleh Imam Al-Lakhmi tersebut ?? Mohon dielaskan dengan dalil yang memuaskan, kami ingin mengetahui yang sebenarnya !”

Asy Syaikh pun menjawab dengan tenang : “Apakah anda memiliki kitab Al-Firaq Fii Syimal Afriqiya, yang ditulis oleh Al-Faradbil, seorang kebangsaan Francis ?”

Dosen itu berkata: “Ya ini ada”

Asy Syaikh pun berkata : “Coba tolong buka di huruf  “wau” .. maka dibukalah huruf tersebut dan munculah sebuah judul yang tertulis “Wahabiyyah“

Kemudian Asy Syaikh menyuruh kepada Dosen itu untuk membacakan tentang biografi firqoh wahabiyyah itu.

Dosen itu pun membacakannya: ”Wahabi atau Wahabiyyah adalah sebuah sekte KHOWARIJ ABADHIYYAH yang dicetuskan oleh Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum Al-Khoriji Al-Abadhi, Orang ini telah banyak menghapus Syari’at Islam, dia menghapus kewajiban menunaikan ibadah haji dan telah terjadi peperangan antara dia dengan beberapa orang yang menentangnya. Dia wafat pada tahun 197 H di kota Thorat di Afrika Utara. Penulis mengatakan bahwa firqoh ini dinamai dengan nama pendirinya, dikarenakan memunculkan banyak perubahan dan dan keyakinan dalam madzhabnya. Mereka sangat membenci Ahlussunnah.

Setelah Dosen itu membacakan kitabnya Asy Syaikh berkata : “Inilah Wahabi yang dimaksud oleh imam Al-Lakhmi, inilah wahabi yang telah memecah belah kaum muslimin dan merekalah yang difatwakan oleh para ulama Andalusia dan Afrika Utara sebagaimana yang telah kalian dapati sendiri dari kitab-kitab yang kalian miliki.

Adapun Dakwah yang dibawa oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang didukung oleh Al-Imam Muhammad bin Su’ud-Rahimuhumallah-, maka dia bertentangan dengan amalan dakwah Khowarij, karena dakwah beliau ini tegak di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih, dan beliau menjauhkan semua yang bertentangan dengan keduanya, mereka mendakwahkah tauhid, melarang berbuat syirik, mengajak umat kepada Sunnah dan menjauhinya kepada bid ’ah, dan ini merupakan Manhaj Dakwahnya para Nabi dan Rasul.

Syubhat yang tersebar dinegeri-negeri Islam ini dipropagandakan oleh musuh- musuh islam dan kaum muslimin dari kalangan penjajah dan selain mereka agar terjadi perpecahan dalam barisan kaum muslimin.

Sesungguhnya telah diketahui bahwa dulu para penjajah menguasai kebanyakan negeri-negeri islam pada waktu itu,dan saat itu adalah puncak dari kekuatan mereka. Dan mereka tahu betul kenyataan pada perang salib bahwa musuh utama mereka adalah kaum muslimin yang bebas dari noda yang pada waktu itu menamakan dirinya dengan Salafiyyah. Belakangan mereka mendapatkan sebuah pakaian siap pakai, maka mereka langsung menggunakan pakaian dakwah ini untuk membuat manusia lari darinya dan memecah belah diantara kaum muslimin, karena yang menjadi moto mereka adalah “PECAH BELAHLAH MEREKA, NISCAYA KAMU AKAN MEMIMPIN MEREKA ”

Sholahuddin Al-Ayubi tidaklah mengusir mereka keluar dari negeri Syam secara sempurna kecuali setelah berakhirnya daulah Fathimiyyah Al-Ubaidiyyin di Mesir, kemudian beliau (Sholahuddin mendatangkan para ulama ahlusunnah dari Syam lalu mengutus mereka ke negeri Mesir, sehingga berubahlah negeri mesir dari aqidah Syiah Bathiniyyah menuju kepada Aqidah Ahlusunnah yang terang dalam hal dalil, amalan dan keyakinan.

(Silahkan lihat kitab Al Kamil Oleh Ibnu Atsir)


Sumber:
http://abangdani.wordpress.com


Sebagai pelengkap alangkah baiknya bila Anda menonton Video berikut ini:
  1. Meluruskan Sejarah Wahhabi (Bagian 1)
  2. Meluruskan Sejarah Wahhabi (Bagian 2)
  3. Meluruskan Sejarah Wahhabi (Bagian 3)
  4. Meluruskan Sejarah Wahhabi (Bagian 4)
  5. Meluruskan Sejarah Wahhabi (Bagian 5)

SHALAWAT PARA MALAIKAT BAGI ORANG-ORANG YANG MENYAMBUNG SHAF


Oleh
Dr. Fadhl Ilahi bin Syaikh Zhuhur Ilahi

Di antara orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan dengan shalawat Allah dan para Malaikat-Nya kepada mereka adalah orang-orang yang selalu menyambung shaff, mereka tidak akan membiarkan sebuah kekosongan dalam shaff.

Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah:

1. Para Imam (yaitu Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan al-Hakim) meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الَّذِيْنَ يَصِلُوْنَ الصُّفُوْفَ.

"Sesungguhnya Allah dan para Malaikat selalu bershalawat kepada orang-orang yang menyambung shaff-shaff." [1]

Al-Imam Ibnu Khuzaimah memberikan bab pada hadits ini dengan judul: “Bab Penyebutan Shalawat Allah dan Para Malaikat-Nya kepada Orang-Orang yang Menyambung Shaff.” [2]

Sedangkan Imam Ibnu Hibban memberikan bab pada hadits ini dengan judul: “Ampunan Allah جلّ وعلا serta Permohonan Ampun dari Para Malaikat bagi Orang yang Menyambung Shaff yang Terputus.” [3]

2. Imam Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dari al-Barra’ bin ‘Azib Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi setiap shaff dari satu sudut ke sudut lainnya. Beliau mengusap setiap pundak atau dada-dada kami dengan berkata:

لاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفُ قُلُوْبُكُمْ.

"Janganlah kalian saling berselisih, karena jika demikian, maka hati-hati kalian pun akan berselisih."

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الَّذِيْنَ يَصِلُوْنَ الصُّفُوْفَ اْلأُوَلِ.

“Sesungguhnya Allah dan para Malaikat selalu bershalawat kepada orang-orang yang menyambung shaff-shaff terdepan.” [4]

Imam Ibnu Khuzaimah memberikan bab pada kitabnya dengan judul: “Bab Tentang Shalawat Allah dan Para Malaikat kepada Orang-Orang yang Menyambung Shaff-Shaff Terdepan.” [5]

Para Sahabat Radhiyallahu anhum dahulu sangat gigih dalam mengisi shaff yang kosong. Di antara riwayat yang menunjukkan hal tersebut adalah:

Pertama, al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

أَقِيْمُوْا صُفُوْفَكُمْ فَإِنِّّيْ أَرَاكُمْ مِنْ وَرَائِي ظَهْرِي.

“Luruskanlah shaff-shaff kalian, karena aku melihat kalian dari belakang punggungku.”

“Dan salah seorang di antara kami selalu menempelkan pundaknya kepada pundak sahabat yang ada di sisinya, dan kakinya kepada kaki sahabatnya tersebut.” [6]

Kedua, al-Imam Abu Dawud meriwayatkan dari an-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap orang-orang dengan wajahnya dan kemudian bersabda:

أَقِيْمُوْا صُفُوْفَكُمْ.

‘Luruskanlah shaff-shaff kalian!’ (diucapkan tiga kali). [7]

Lalu beliau bersabda:

وَاللهِ لَتُقِيْمُنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ

"Demi Allah, luruskanlah shaff-shaff kalian atau Allah akan menjadikan hati-hati kalian (saling) berselisih."

Beliau berkata: “Aku melihat seseorang yang merapatkan pundaknya kepada pundak Sahabat yang ada di dekatnya, lutut kepada lututnya, dan mata kaki kepada mata kakinya.” [8]

Syaikh Muhammad Syamsul Haqq al-‘Azhim Abadi berkata: “Hadits-hadits tersebut adalah dalil-dalil yang menunjukkan pentingnya meluruskan shaff-shaff dalam shalat. Dan hal tersebut merupakan bagian dari kesempurnaan shalat, yaitu dengan tidak ada yang lebih belakang atau lebih depan dari yang lainnya dalam satu shaff, pundak dirapatkan dengan pundak, lutut dirapatkan dengan lutut, dan mata kaki dirapatkan dengan mata kaki. Tetapi sayangnya, Sunnah ini ditinggalkan pada zaman sekarang, dan jika Sunnah ini dilakukan, maka banyak orang yang akan lari darinya bagaikan seekor keledai liar. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.” [9]

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan kita termasuk orang-orang yang enggan menyambung shaff, akan tetapi semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan rahmat-Nya menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang selalu menyambung shaff-shaff dalam shalat sehingga Allah dan para Malaikat-Nya selalu bershalawat kepada kita semua.

Aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin.

[Disalin dari buku Man Tushallii ‘alaihimul Malaa-ikatu wa Man Tal‘anuhum, Penulis Dr. Fadhl Ilahi bin Syaikh Zhuhur Ilahi, Penerbit Idarah Turjuman al-Islami-Pakistan, Cetakan Pertama, 1420 H - 2000 M, Judul dalam Bahasa Indonesia: Orang-Orang Yang Di Do'aka Malaikat, Penerjemah Beni Sarbeni]
_______
Footnote
[1]. Al-Musnad (VI/67 cet. Al-Maktab al-Islami), Sunan Ibni Majah kitab Iqaamatush Shalaah bab Iqaamatush Shufuuf (I/179 no. 981), Shahiih Ibni Khuzaimah kitab al-Imaamah fish Shalaah (III/23), al-Ihsaan fii Taqriibi Shahiih Ibni Hibban kitab ash-Shalaah bab Fardhu Mutaaba’atil Imaam (V/536 no. 2163), al-Mustadrak ‘alash Shahiihain kitab ash-Shalaah (I/213). Imam al-Hakim mengomentari hadits ini dengan berkata: “Hadits ini shahih sesuai syarat perawi Imam Mus-lim, tetapi Muslim dan al-Bukhari tidak meriwayatkannya.” (Ibid, I/213). Ungkapan al-Hakim disetujui oleh al-Hafizh adz-Dzahabi (lihat kitab at-Talkhiish I/213). Hadits ini di-shahihkan oleh Syaikh al-Albani. (Lihat kitab Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib I/272).
[2]. Shahiih Ibni Khuzaimah (III/23).
[3]. Al-Ihsaan fii Taqriibi Shahiih Ibni Hibban (V/536).
[4]. Shahiih Ibni Khuzaimah kitab al-Imaamah fish Shalaah (III/26). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani, lihat kitab Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib (I/272).
[5]. Shahiih Ibni Khuzaimah (III/26).
[6]. Shahiih al-Bukhari kitab al-Adzaan, bab Ilzaaqul Mankibi bil Mankibi wal Qadami bil Qadami fish Shaffi (II/256 no. 725).
[7]. Maksudnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan kata-kata tersebut sebanyak tiga kali. (Lihat kitab ‘Aunul Ma’buud II/256)
[8]. Sunan Abi Dawud, kitab ash-Shalaah bagian dari bab-bab yang menjelaskan tentang shaff, bab Taswiyatush Shufuuf (II/255-256 no. 658). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani. (Lihat Shahiih Sunan Abi Dawud I/130).
[9]. At-Ta’liiqul Mughni ‘alaa Sunan ad-Daraquthni (I/283-284)

=> Sumber <=

DOA BERBUKA PUASA YANG SHOHIH


Masyhur, tak selamanya jadi jaminan. Begitulah yang terjadi pada “doa berbuka puasa”. Doa yang selama ini terkenal di masyarakat, belum tentu shahih derajatnya.

Terkabulnya doa dan ditetapkannya pahala di sisi Allah ‘Azza wa Jalla dari setiap doa yang kita panjatkan tentunya adalah harapan kita semua. Kali ini, mari kita mengkaji secara ringkas, doa berbuka puasa yang terkenal di tengah masyarakat, kemudian membandingkannya dengan yang shahih. Setelah mengetahui ilmunya nanti, mudah-mudahan kita akan mengamalkannya. Amin.

Doa Berbuka Puasa yang Terkenal di Tengah Masyarakat

Lafazh pertama:

اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْت

”Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka.”

Doa ini merupakan bagian dari hadits dengan redaksi lengkap sebagai berikut:


عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَ عَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

“Dari Mu’adz bin Zuhrah, sesungguhnya telah sampai riwayat kepadanya bahwa sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau membaca (doa), ‘Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthortu-ed’ (ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka).”[1]

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud, dan dinilai dhaif oleh Syekh al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud.

Penulis kitab Tahdzirul Khalan min Riwayatil Hadits hawla Ramadhan menuturkan, “(Hadits ini) diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunannya (2/316, no. 358). Abu Daud berkata, ‘Musaddad telah menyebutkan kepada kami, Hasyim telah menyebutkan kepada kami dari Hushain, dari Mu’adz bin Zuhrah, bahwasanya dia menyampaikan, ‘Sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau mengucapkan, ‘Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu.’”[2]

Mua’dz ini tidaklah dianggap sebagai perawi yang tsiqah, kecuali oleh Ibnu Hibban yang telah menyebutkan tentangnya di dalam Ats-Tsiqat dan dalam At-Tabi’in min Ar-Rawah, sebagaimana al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Tahdzib at-Tahdzib (8/224).[2]

Dan seperti kita tahu bersama bahwa Ibnu Hibban dikenal oleh para ulama sebagai orang yang mutasahil, yaitu bermudah-mudahan dalam menshohihkan hadits-ed.

Keterangan lainnya menyebutkan bahwa Mu’adz adalah seorang tabi’in. Sehingga hadits ini mursal (di atas tabi’in terputus). Hadits mursal merupakan hadits dho’if karena sebab sanad yang terputus. Syaikh Al Albani pun berpendapat bahwasanya hadits ini dho’if.[3]

Hadits semacam ini juga dikeluarkan oleh Ath Thobroni dari Anas bin Malik. Namun sanadnya terdapat perowi dho’if yaitu Daud bin Az Zibriqon, di adalah seorang perowi matruk (yang dituduh berdusta). Berarti dari riwayat ini juga dho’if. Syaikh Al Albani pun mengatakan riwayat ini dho’if.[4]
Di antara ulama yang mendho’ifkan hadits semacam ini adalah Ibnu Qoyyim Al Jauziyah.[5]

Lafazh kedua:

اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْت

“Allahumma laka shumtu wa bika aamantu wa ‘ala rizqika afthortu” (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku beriman, dan dengan rizki-Mu aku berbuka).”

Mulla ‘Ali Al Qori mengatakan, “Tambahan ‘wa bika aamantu‘ adalah tambahan yang tidak diketahui sanadnya, walaupun makna do’a tersebut shahih.”[6]
Artinya do’a dengan lafazh kedua ini pun adalah do’a yang dho’if sehingga amalan tidak bisa dibangun dengan do’a tersebut.

Berbuka Puasalah dengan Doa-doa Berikut Ini

Do’a pertama:

Terdapat sebuah hadits shahih tentang doa berbuka puasa, yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ذَهَبَ الظَّمَأُ، وابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَاللهُ

“Dzahabazh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah-ed.”
[Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan, semoga ada pahala yang ditetapkan, jika Allah menghendaki](Hadits shahih, Riwayat Abu Daud [2/306, no. 2357] dan selainnya; lihat Shahih al-Jami’: 4/209, no. 4678) [7]

Periwayat hadits adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. Pada awal hadits terdapat redaksi, “Abdullah bin Umar berkata, ‘Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau mengucapkan ….‘”

Yang dimaksud dengan إذا أفطر adalah setelah makan atau minum yang menandakan bahwa orang yang berpuasa tersebut telah “membatalkan” puasanya (berbuka puasa, pen) pada waktunya (waktu berbuka, pen). Oleh karena itu doa ini tidak dibaca sebelum makan atau minum saat berbuka. Sebelum makan tetap membaca basmalah, ucapan “bismillah” sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِى أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ

“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah Ta’ala. Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah ia mengucapkan: “Bismillaahi awwalahu wa aakhirohu (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya)”. (HR. Abu Daud no. 3767 dan At Tirmidzi no. 1858. At Tirmidzi mengatakan hadits tersebut hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih)

Adapun ucapan وثبت الأجر maksudnya “telah hilanglah kelelahan dan telah diperolehlah pahala”, ini merupakan bentuk motivasi untuk beribadah. Maka, kelelahan menjadi hilang dan pergi, dan pahala berjumlah banyak telah ditetapkan bagi orang yang telah berpuasa tersebut.

Do’a kedua:

Adapun doa yang lain yang merupakan atsar dari perkataan Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma adalah,

اَللَّهُمَّ إنِّي أَسْألُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ، أنْ تَغْفِرَ لِيْ

“Allahumma inni as-aluka bi rohmatikal latii wasi’at kulla syain an taghfirolii-ed”
[Ya Allah, aku memohon rahmatmu yang meliputi segala sesuatu, yang dengannya engkau mengampuni aku](HR. Ibnu Majah: 1/557, no. 1753; dinilai hasan oleh al-Hafizh dalam takhrij beliau untuk kitab al-Adzkar; lihat Syarah al-Adzkar: 4/342) [8]

_____________________
[1] Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, Kitab ash-Shaum, Bab al-Qaul ‘inda al-Ifthar, hadits no. 2358.
[2] Tahdzirul Khalan min Riwayatil Hadits hawla Ramadhan, hlm. 74-75.
[3] Lihat Irwaul Gholil, 4/38-ed.
[4] Lihat Irwaul Gholil, 4/37-38-ed.
[5] Lihat Zaadul Ma’ad, 2/45-ed.
[6] Mirqotul Mafatih, 6/304-ed.
[7] Syarah Hisnul Muslim, bab Dua’ ‘inda Ifthari ash-Shaim, hadits no. 176.
[8] Syarah Hisnul Muslim, bab Dua’ ‘inda Ifthari ash-Shaim, hadits no. 177.

Referensi:
  • Irwaul Gholil fii Takhrij Ahadits Manaris Sabil, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Al Maktab Al Islami, cetakan kedua, 1405 H
  • Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, Mala ‘Ali Al Qori, Asy Syamilah.
  • Syarah Hisnul Muslim, Majdi bin ‘Abdul Wahhab al-Ahmad, Disempurnakan dan Dita’liq oleh Penulis Hisnul Muslim (Syekh Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani).
  • Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, Syekh Muhammad Nashirudin al-Albani, Maktabah al-Ma’arif, diunduh dari www.waqfeya.com (URL: http://s203841464.onlinehome.us/waqfeya/books/22/32/sdsunnd.rar)
  • Tahdzirul Khalan min Riwayatil Hadits hawla Ramadhan, Syekh Abdullah Muhammad al-Hamidi, Dar Ibnu Hazm, diunduh dari www.waqfeya.com (URL: http://ia311036.us.archive.org/0/items/waq57114/57114.pdf)
  • Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, Tahqiq: Syaikh ‘Abdul Qodir ‘Arfan, Darul Fikr, cetakan pertama, 1424 H (jilid kedua).

Penulis: Ummu Asiyah Athirah
Muroja’ah: Abu Rumaysho Muhammad Abduh Tuasikal

Kemudahan Dalam Islam: BOLEHNYA SHALAT SAMBIL MENGGENDONG BAYI

Klik Gambar untuk tampilan lebih besar...

Apakah seorang ibu boleh shalat sambil menggendong anaknya?

Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullaah menjawab, “Shalat wanita sambil menggendong anaknya tidak apa-apa bila anaknya dalam keadaan suci dan memang butuh digendong karena mungkin anaknya menangis dan bisa menyibukkan si ibu apabila tidak menggendongnya.

Telah pasti kabar yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyebutkan beliau pernah shalat sambil menggendong cucu beliau Umamah bintu Zainab bintu Rasulullah. Ketika itu Rasulullah shalat mengimami orang-orang dalam keadaan Umamah dalam gendongan beliau. Bila berdiri, beliau menggendong Umamah dan di saat sujud beliau meletakkannya. Apabila seorang ibu melakukan hal tersebut maka tidak apa-apa, tetapi yang lebih utama tidak melakukannya melainkan jika ada kebutuhan.” (Nurun ‘alad Darb, hlm. 17)
(Sumber : http://asysyariah.com/shalat-menggendong-anak.html)

Pertanyaan: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat sambil menggendong Umamah sebagaimana di dalam Ash Shahih, apakah hal ini secara mutlak atau disyaratkan hendaknya anak itu suci dari kotoran?

Jawaban:
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dalam keadaan menggendong Umamah. Ini merupakan bentuk kasih sayang terhadap anak-anak dan bayi-bayi. Karena apabila mereka menangis sementara seseorang sedang shalat. Terkadang tangisan mereka menyibukkan dia dari shalatnya. Allah ta’ala berfirman,

“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya.” (Al Ahzab: 4)

Demikian pula seorang ibu terkadang tersibukkan dari shalatnya. Namun bilamana dia menggendong anaknya sebagaimana yang diperbuat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu apabila dia ruku’ maka dia letakkan anaknya. Dan apabila dia bangkit lalu dia menggendongnya. Maka anak itu menjadi tenang dari tangisannya, sehingga orang yang menjaganya menjadi khusyu’ dalam shalatnya. Dan dia menjadi perhatian terhadap anak tersebut karena rasa kasih sayang kepadanya.

Adapun perkara yang berkaitan dengan syarat suatu kesucian. Bila dia bisa terhindar dari kotorannya, maka tidak mengapa yang demikian. Namun apabila terdapat kotoran padanya, semisal air kencing atau selainnya, maka tidak boleh. Dan kisah Umamah dikemungkinkan bahwa dia dalam keadaan bersih dari najis kencing atau tahi, sebagaimana yang telah disebutkan oleh para ulama rahimahumullah.

(Sumber: Anak Amanah Ilahi karya Asy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuri (penerjemah: Abu Abdurrahman Abdul Aziz As Salafy dan Ummu Abdurrahman), penerbit: Penerbit Al-Husna bekerja sama dengan Al Fath Media, hal. 88-89.)


Bolehkan Membawa Anak Kecil Ke Masjid?

Anak, menurut definisi para ulama fikih adalah orang yang belum mencapai usia baligh. (al-Asybah wan Nadhair, as-Suyuthi, hal. 387)

Pertama, Anak yang sudah mencapai usia tamyiz

Jika anak sudah mencapai usia tamyiz, disyariatkan bagi walinya utk memerintahkan anak agar datang ke masjid. Karena orang tua diperintahkan utk menyuruh anaknya agar melakukan shalat setelah menginjak usia tamyiz. Berdasarkan hadis dari Sabrah radliallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Perintahkanlah anak utk shalat jika sudah mencapai usia 7 tahun, & jika sudah berusia 10 tahun, pukullah mereka (jika tak mau diperintah) agar shalat melaksanakan shalat” (HR. Abu Daud, Turmudzi & dinilai shahih al-Albani)

Hadis ini menunjukkan dua hal penting:
a. Bahwa wali (pengurus) anak kacil yang sudah tamyiz, baik bapaknya, kakeknya, kakaknya, atau orang yang mendapat wasiat utk mengurusinya, mereka mendapatkan tugas dari syariat utk memerintahkan anak kecil agar melaksanakan shalat, & mengajarkan tata cara shalat yang sah, seperti syarat & rukun shalat. Ini berlaku, baik utk anak laki-laki maupun perempuan.

b. Hadis ini menunjukkan diziinkannya seorang anak utk masuk masjid. Karena masjid merupakan tempat pelaksanaan shalat. Si pengurus anak, hendaknya membiasakan anak tersebut utk sering ke masjid, menghadiri shalat jamaah, agar menimbulkan rasa cinta pada ibadah & ketergantungan hati pada masjid.

Kedua, anak yang belum tamyiz

Ada banyak hadis yang menunjukkan bolehnya mengajak anak yang belum tamyiz ke masjid. Diantara dalil tersebut adalah
1. Hadis dari Abu Qotadah al-Anshari mengatakan
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, putri dari Abul ‘Ash bin Rabi’ah. Apabila beliau sujud, beliau letakkan Umamah & jika beliau berdiri, beliau menggendongnya.”

Dalam lafadz yang lain: “Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami jamaah, sementara Umamah binti Abil ‘Ash (cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) berada di gendongan beliau” (HR. Bukhari & Muslim)

Hadis ini memberikan 2 pelajaran penting
a. Bolehnya membawa bayi ke masjid, & boleh menggendongnya ketika shalat, meskipun itu adalah shalat wajib. Karena ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggendong Umamah, beliau mengimami para sahabat.

b. Pakaian bayi & badannya itu suci, selama tak diketahui adanya najis. Anggapan bahwa orang yang hendak shalat tak boleh menyentuh atau menggendong bayi, karena dimungkinkan ada najis di pakaiannya adalah anggapan yang tak berdasar. Prinsip “ada kemungkinan” hanyalah sebatas keraguan yang tak meyakinkan.

2. Hadis dari A’isyah radliallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat isya, hingga Umar datang memanggil beliau:

نَامَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ

Wahai Rasulullah, para wanita & anak-anak telah tidur. (HR. Bukhari)

Ada dua kesimpulan penting dari hadis ini:
a. Bolehnya mengajak anak ke masjid & mengikuti shalat jamaah. Sebagaimana wanita juga boleh datang menghadiri jamaah. Terutama di waktu malam yang gelap, seperti shalat isya. Karena maksud pemberitaan Umar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa wanita & anak-anak yang menunggu jamaah shalat isya di masjid, telah tertidur. Inilah yang sesuai dgn makna teksnya. Tidak sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa mereka tidur di rumah. Ini adalah anggapan yang tak benar. Karena jika mereka tidur di rumah maka itu sudah menjadi hal biasa, sehingga tak perlu orang semacam Umar radliallahu ‘anhu mengingatkan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Diantara ulama yang memahami bahwa tidurnya wanita & anak-anak ini di masjid adalah Imam al-Bukhari. Hadis ini, beliau letakkan di bawah judul bab: tentang wudhunya anak kecil,… & keterlibatan mereka dlm shalat jamaah, hari raya, shalat jenazah, & shaf mereka. Ini menunjukkan bahwa Al Bukhari memahami dari hadis ini, anak-anak tersebut hadir di masjid.

b. Lafadz ‘shibyan’ pada hadis di atas, bentuknya jamak definitif (ada alif lam), sehingga mencakup umum, semua anak, baik besar maupun kecil.

Catatan:

Pertama, tak boleh memindah anak kecil yang sudah menempati shaf
Jika ada anak kecil yang menempati shaf pertama, atau di belakang imam maka tak boleh dipindah, terutama jika sudah tamyiz. Ini merupakan pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat ulama. Diantara alasan yang menguatkan hal ini adalah

a. Hadis dari Ibn Umar radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menyuruh pindah saudaranya yang duduk di tempat tertentu, kemudian dia menduduki tempat tersebut. (HR. Bukhari & Muslim)

Hadis ini merupakan larangan tegas utk menyuruh orang pindah dari tempatnya, kemudian dia menduduki tempat tersebut. Dan anak yang sudah tamyiz masuk dlm hukum ini.

Al-Qurthubi mengatakan:
Larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam utk menyuruh orang lain pindah dari tempat duduknya, karena orang yang lebih dahulu menempati tempat tertentu, dia memiliki hak utk duduk di tempat tersebut, sampai dia sendiri ingin pindah tanpa dipaksa setelah tujuannya selesai. Seolah-olah dia memiliki hak utk memanfaatkan posisi tersebut, sehingga orang lain tak boleh menghalangi dirinya utk mendapatkan apa yang dia miliki. (al-Mufhim, 5/509)

b. Mengizinkan mereka utk tetap berada di shaf akan memberikan motivasi kepada mereka utk tetap shalat & datang ke masjid.

Berbeda dgn anggapan sebagian orang bahwa anak kecil harus berada di belakang shaf orang dewasa. Anggapan semacam ini tak sesuai denan kebiasaan para sahabat. Karena andaikan penataan shaf anak kecil harus selalu di belakang shaf orang dewasa, tentunya akan dinukil banyak riwayat dari sahabat & menjadi satu hal yang dikenal banyak orang, sebagaimana posisi shaf wanita yang selalu di belakang. (Hasyiyah Ibn Qosim utk ar-Raudhul Murbi’, 2/341)

Adapun, adanya beberapa riwayat dari sebagian sahabat yang memposisikan anak kecil di belakang maka dipahami dgn dua kemungkinan, pertama, itu merupakan pendapat pribadi beliau, atau kedua, karena anak itu tak paham shalat yang baik, sehingga bergurau ketika shalat. (al-I’lam bi Fawaid Umdatil Ahkam karya Ibnul Mulaqin, 2/533)

Bagaimana dgn hadis dari Ibn Mas’ud radliallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
“Hendaknya orang yang berada di belakangku adalah orang dewasa yang berakal, kemudian orang tingkatan berikutnya, kemudian berikutnya.” (HR. Muslim)

Hadis ini tidaklah melarang utk menempati shaf pertama & memposisikan mereka di shaf belakang. Hadis hanya menganjurkan agar para ‘ulul ahlam wan nuha‘ yaitu orang yang lebih pandai (dalam agama) utk menempati shaf awal, berada di belakang imam. Sehingga bisa mengingatkan imam ketika lupa atau menggantikan posisi jika dia batal. Andaikan maksud hadis adalah melarang anak kecil utk berada di depan, seharusnya lafadzkan: “Tidak boleh berada di belakangku kecuali ….” (as-Syarhul Mumthi’, 3/10)

Kedua, hadis dhaif yang melarang anak ke masjid

Sebagian orang yang berpendapat bahwa anak-anak tak boleh masuk masjid, berdalil dgn hadis:
“Jauhkanlah masjid kalian dari anak kalian”

Hadis ini diriwayatkan Ibn Majah & at-Thabrani dlm Mu’jam al-Kabir dari jalur al-Harits bin Nabhan, dari Utbah bin Abi Said, dari Makhul, dari Watsilah bin al-Asqa’ radliallahu ‘anhu. Perawi yang bernama Harits statusnya sangat lemah. Berikut keterangan ulama tentang perowi ini:
Al-Bukhari mengatakan: “Munkarul hadis.”
Nasa’i & Abu Hatim menilai orang ini dengan: “Matruk (ditinggalkan).”
Ibnu Main memberikan komentar utk orang ini dgn mengatakan: “Laisa bi Syai’in” terkadang, beliau menyatakan: “Hadisnya tak ditulis.”

Demikian beberapa keterangan yang disampaikan ad-Dzahabi dlm al-Mizan (1/444). Hadis ini memiliki beberapa jalur lain, namun tak ada satupun yang shahih. Keterangan selengkapnya ada di Nashbur Rayah (2/491).

Ketiga, dibolehkan membuat shaf dgn anak kecil
Seseorang tak boleh shalat sendirian di belakang shaf, sementara masih memungkinkan baginya utk menempatkan diri pada barisan di depannya. Ini berdasarkan hadis dari Wabishah radliallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ada seseorang yang shalat di belakang shaf sendirian. Kemudian beliau memerintahkan agar mengulangi shalatnya. (HR. Abu Daud & dinilai shahih al-Albani)

Bagaimana jika membuat shaf bersama anak kecil, apakah sudah bisa dinyatakan telah keluar dari larangan hadis Wabishah di atas?

Dalam hal ini ulama berselisih pendapat. Akan tetapi pendapat yang kuat, dibolehkan utk membuat shaf dgn anak kecil. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Diantara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadis dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu, beliau menceritakan:
Neneknya, Mulaikah radliallahu ‘anha, pernah mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam utk makan di rumahnya. Setelah selesai makan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bersiaplah, mari saya imami kalian utk shalat berjamaah.” Anas mengatakan: Kemudian aku siapkan tikar milik kami yang sudah hitam karena sudah usang, & aku perciki dgn air. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat & ada anak yatim bersamaku (dalam satu shaf), & wanita tua di belakang kami. Beliau mengimami shalat dua rakaat. (HR. Bukhari & Muslim)

Hadis ini dalil bolehnya orang yang sudah baligh membuat shaf dgn anak kecil. Karena Anas bin Malik radliallahu ‘anhu shalat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama seorang anak yatim. Sementara anak yatim adalah anak yang ditinggal mati bapaknya & dia belum baligh.
Allahu a’lam

(Penyusun: Ustadz Ammi Nur Baits. Disarikan & disusun ulang dari risalah: Hudhurus Shibyan al-Masajida, karya Dr. Abdullah bin Sholeh al-Fauzan hafidzahullah (alfuzan.islamlight.net)

WAJIBNYA MERAPATKAN & MELURUSKAN SHAF

Klik gambar untuk melihat tampilan lebih besar..!

سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ

“Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya meluruskan shaf termasuk kesempurnaan sholat”.

Takhrij Hadits:
Hadits dengan lafadz ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shohihnya (433) dari shahabat Anas bin Malik -radhiallahu Ta’ala ‘anhu-, dan dalam riwayat Al-Bukhary (723), dengan lafazh:
سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاَةِ
”Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya meluruskan shaf termasuk menegakkan sholat.”

Semakna dengannya, hadits Abu Hurairah -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- dalam riwayat Al-Bukhary (722) dan Muslim (435), dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda:
وَأَقِيْمُوْا الصَّفِّ فِي الصَّلاَةِ, فَإِنَّ إِقَامَةِ الصَّفِّ مِنْ حُسْنِ الصَّلاَةِ
“Dan tegakkanlah shaf di dalam shalat, karena sesungguhnya menegakkan shaf termasuk diantara baiknya sholat”.

Kosa Kata Hadits:
  1. Sabda beliau [luruskanlah shaf-shaf kalian] yakni, lurus dan seimbanglah dalam bershaf sehingga kalian seakan-akan merupakan garis yang lurus, jangan salah seorang di antara kalian agak ke depan atau agak ke belakang dari yang lainnya, serta merapat dan tutuplah celah-celah kosong yang berada di tengah shaf.
  2. Sabda beliau [termasuk kesempurnaan sholat], yakni penyempurna sholat. Sesuatu dikatakan sempurna jika telah sempurna seluruh bagian-bagiannya, sehingga satu bulan dikatakan sempurna jika harinya sudah genap 30.
  3. Sabda beliau [sesungguhnya menegakkan shaf], yakni meluruskan dan menyeimbangkannya ketika hendak mendirikan shalat berjama’ah.
  4. Sabda beliau [termasuk diantara baiknya sholat]. Ibnu Baththol menjelaskan bahwa “baiknya sesuatu” adalah kadar tambahan setelah sempurnanya sesuatu tersebut.
[Lihat: Fathul Bary (2/209), ‘Aunul Ma’bud (2/259), dan Faidhul Qodir (2/537) dan (4/115-116)]

Syarh:
Di antara sunnah (1) yang banyak dilalaikan dan tidak diketahui ummat adalah meluruskan dan merapatkan shaf. Sunnah ini telah ditinggalkan oleh mereka sehingga nampak fenomena yang menyedihkan berupa adanya ketidakrapian shaf dalam sholat berjama’ah. Di lain sisi, orang yang diangkat jadi imam sholat juga tidak paham mengenai sunnah yang satu ini. Kalaupun paham, mereka tidak berusaha mengajarkannya kepada jama’ah, -baik karena sikap acuh tak acuh mereka terhadap sunnah atau karena sungkannya mereka kepada jama’ah yang telah menunjuk dirinya sebagai imam sehingga takut jika posisi itu hilang darinya ketika dia mengajarkan dan menerapkan sunnah yang mulia ini- sehingga terjadilah kekacauan dalam barisan jama’ah yang terkadang melahirkan perselihihan batin dan kebencian. Sebagai bentuk usaha dalam mengatasi problema ini, kami merasa perlu untuk menjelaskan sunnah yang mahjuroh (ditinggalkan) ini dan menyebarkannya melalui tulisan yang ringkas ini. Berikut penjelasannya:

Anjuran Menyambung Shaf dan Ancaman Memutuskannya

Banyak nash dari hadits Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang menganjurkan kita agar kita meluruskan dan merapatkan shaf, bahkan beliau juga telah mengancam orang yang memutuskannya dengan ancaman yang keras.
1. Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar -radhiallahu Ta’ala ‘anhuma- beliau berkata: Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
أَقِيْمُوُا صُفُوْفَكُمْ فَإِنَّمَا تَصُفُّوْنَ بِصُفُوْفِ الْمَلاَئِكَةِ, وَحَاذُوْا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسَدُّوْا الْخَلَلَ وَلِيْنُوْا بِأَيْدِيْ إِخْوَانِكُمْ وَلاَ تَذَرُوْا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ. وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
“Luruskan shaf-shaf kalian karena sesungguhnya kalian itu bershaf seperti shafnya para malaikat. Luruskan di antara bahu-bahu kalian, isi (shaf-shaf) yang kosong, lemah lembutlah terhadap tangan-tangan (lengan) saudara kalian dan janganlah kalian menyisakan celah-celah bagi setan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allah akan menyambungnya (dengan rahmat-Nya) dan barangsiapa yang memutuskannya, maka Allah akan memutuskannya (dari rahmat-Nya)”.(2)

Imam Abu Dawud As-Sijistany -rahimahullah- berkata ketika menjelaskan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, “Makna sabdanya:[ “Lembutilah tangan-tangan (lengan) saudara kalian”] (adalah) apabila ada seorang yang datang menuju shaf, lalu ia berusaha masuk, maka seyogyanya setiap orang melembutkan (melunakkan) bahunya untuknya sehingga ia bisa masuk shaf”. (3)

Jika menutup celah yang renggang saja merupakan perkara yang sangat dianjurkan, apalagi jika itu merupakan kekosongan dan kerenggangan yang sangat lapang di antara satu jama’ah dengan jama’ah lainnya -sebagaimana yang terlihat di banyak masjid di tanah air-, maka ini tentu lebih dianjurkan bahkan diperintahkan.

2. ‘A`isyah -radhiallahu Ta’ala ‘anha- berkata, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
مَنْ سَدَّ فُرْجَةً رَفَعَهُ اللهُ بِهَا دَرَجَةً وَبَنَى لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ
“Barang siapa yang menutupi suatu celah (dalam shaf), niscaya Allah akan mengangkat derajatnya karenanya dan akan dibangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga”. (4)

Janji yang demikian besarnya, tentunya tidak diberikan kecuali kepada orang yang memiliki semangat yang tinggi dalam mengamalkan sunnah Rasulullah-Shallallahu ‘alaihi wasallam- di saat manusia banyak yang meninggalkannya dan melalaikannya, bahkan terkadang diingkari. Demikian pula orang yang menolong saudaranya dalam melaksanakan sunnah ini dengan melunakkan bahunya agar saudaranya bisa masuk ke dalam shaf dan tidak terhalang, wajar jika ia disebut sebagai “orang yang terbaik akhlaknya”.

3. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
خِيَارُكُمْ أَلْيَنُكُمْ مَنَاكِبِ فِي الصَّلاَةِ, وَمَا مِنْ خَطْوَةٍ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ خَطْوَةٍ مَشَاهَا رَجُلٌ إِلَي فُرْجَةٍ فِي الصَّفِّ فَسَدَّهَا
“Orang yang terbaik di antara kalian adalah orang yang paling lembut bahunya dalam sholat. Tak ada suatu langkahpun yang lebih besar pahalanya dibandingkan langkah yang dilangkahkan menuju celah dalam shaf, lalu ia menutupinya”. (5)

Perintah Meluruskan dan Merapatkan Shaf

Para pembaca yang budiman telah membaca hadits-hadits yang menganjurkan kita untuk meluruskan dan merapatkan shaf dan juga ancaman bagi orang yang memutuskan shaf dengan cara membuat celah antara bahunya dengan bahu saudaranya, maka wajarlah jika Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan hal tersebut demi menekankan pentingnya meluruskan dan merapatkan shaf serta bahaya memutuskannya.
1. Dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu anhu- berkata: Rasulullah-shollallahu alaihi wasallam- bersabda:
اِسْتَوُوْا وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفَ قُلُوْبُكُمْ
“Luruslah kalian dan jangan kalian berselisih. Lantaran itu, hati-hati kalian akan berselisih”. (6)

Perhatikan bagaimana Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengancam orang yang berselisih dalam mengatur shaf, satunya maju sedikit dan satunya lagi agak ke belakang. Inilah yang dimaksud berselisih dalam hadits ini.

2. Dalam hadits lain beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
لَتَسُوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ
“Kalian akan benar-benar meluruskan shaf, atau Allah benar-benar akan membuat hati-hati kalian berselisih”. (7)

Seseorang tidak akan mampu meluruskan shafnya jika ia tidak merapatkan barisannya. Karenanya Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan hal itu dalam sebuah hadits dari:

3. Anas bin Malik -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- bercerita, “Sholat telah didirikan (telah dikumandangkan iqomah), lalu Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- menghadapkan wajahnya kepada kami seraya bersabda:
أَقِيْمُوْا صُفُوْفَكُمْ وَتَرَاصُّوْا فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِيْ
”Tegakkanlah shaf-shaf kalian dan rapatkan karena sesungguhnya aku bisa melihat kalian dari balik punggungku”. (8)

Meluruskan shaf dan merapatkannya sangat diperhatikan oleh Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabat beliau, sehingga tak heran jika beliau mengingatkan dan memerintahkannya dalam hadits-haditsnya. Bahkan meluruskan shaf merupakan salah satu jalan menyempurnakan dan menegakkan sholat, sedangkan menyempurnakan dan menegakkan sholat merupakan kewajiban. Seorang tak boleh mengurangi kesempurnaanya dengan merenggangkan shaf.

Tata Cara meluruskan dan Merapatkan Shaf
Jika seseorang mau menilik dan meneliti hadits-hadits Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-, maka ia akan menemukan di dalamnya permata berharga bagi para pencinta sunnah, mata air yang menyejukkan hati dan penawar bagi hati yang sakit. Tak ada suatu kemaslahatan apapun, kecuali beliau telah jelaskan, dan sebaliknya tak ada satu mudhorotpun yang akan membahayakan diri seseorang, kecuali beliau telah ingatkan.
Di antara kemaslahatan tersebut adalah tata cara meluruskan shaf. Kemudian tak mungkin beliau memerintahkan dan mewajibkan sesuatu, kecuali beliau pasti telah menjelaskan tata cara dan kaifiyahnya kepada para sahabatnya.

Tata cara meluruskan dan merapatkan shaf ini telah dipraktekkan oleh para sahabat setelah mereka dibimbing langsung oleh Nabi mereka -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Maka sekarang mari kita biarkan salah seorang sahabat yang mulia yang bernama Anas bin Malik -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- yang menerangkan tata cara dan kaifiyah meluruskan dan merapatkan shaf di zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Anas bin Malik berkata:
لَقَدْ رَأَيْتُ أَحَدَنَا يَلْزِقُ مَنْكَبَهُ بِمَنْكَبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بَقَدَمِهِ .وَلَوْ ذَهَبْتَ تَفْعَلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ لَتَرَى أَحَدَهُمْ كَأَنَّهُ بِغَلِ شُمُوْسٍ
“Dulu, salah seorang di antara kami menempelkan bahunya dengan bahu teman di sampingnya serta kakinya dengan kaki temannya. Andaikan engkau lakukan hal itu pada hari ini, niscaya engkau akan melihat mereka seperti bagal (9) yang liar”.(10)

Apa yang dikatakan oleh Anas -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- adalah benar. Andaikan kita terapkan petunjuk Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabatnya dalam merapatkan shaf, niscaya kita akan melihat orang di samping kita bagaikan cacing kepanasan, tidak rela jika kakinya ditempeli oleh kaki saudaranya, bahkan marah dan buruk sangka kepada hamba Allah yang taat. Alangkah buruknya orang jenis ini, semoga Allah tidak memperbanyak jumlahnya.

Busyair bin Yasar Al-Anshory pernah berkata, “Tatkala Anas datang ke Madinah, maka ada yang bertanya kepadanya: “Apakah yang anda ingkari pada kami sejak hari engkau mengenal Rasulullah-shollallahu alaihi wasallam-?”. Maka beliau berkata: [“Aku tak mengingkari (kalian), kecuali karena kalian tidak menegakkan shaf”]”.(11)

Syaikh Masyhur Hasan Salman -hafizhohullah- berkata dalam mengomentari atsar di atas, “Demikianlah kondisi kebanyakan orang di zaman kita ini. Andaikan hal itu dilakukan di hadapan mereka, maka mereka akan lari laksana keledai liar. Sunnah ini di sisi mereka berubah seakan-akan menjadi suatu bid’ah (ajaran baru) -na’udzu billah-. Semoga Allah menunjuki mereka dan membuat mereka merasakan manisnya sunnah”. (12)

Apa yang dikatakan Anas dalam Atsar di atas memperjelas bagi kita bahwa tata cara tersebut telah mereka lakukan sejak zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bukanlah merupakan hasil ijtihad mereka, bahkan merupakan hasil pemahaman mereka terhadap sabda-sabda Nabi mereka -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang memerintahkan serta mewajibkan meluruskan dan merapatkan shaf. Praktek mereka merupakan tafsiran dan manifestasi dari perintah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada mereka dalam meluruskan dan merapatkan shaf. Maka janganlah anda yang tertipu dengan orang yang menyatakan bahwa perkara ini bukanlah wajib, apalagi sampai mengingkarinya dan menyatakannya sebagai akhlaknya orang-orang yang tak berakhlak.

Al-Hafizh -rahimahullah- berkata ketika mengomentari atsar Anas di atas, “Pernyataan ini memberikan faedah bahwa perbuatan (para sahabat) tersebut telah ada sejak zaman Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Berdasarkan hal ini, maka sempurnalah pengambilan hujjah yang menjelaskan maksud menegakkan shaf dan meluruskannya”. (13)

Maka batillah pendapat orang yang menyatakan bahwa menempelkan bahu dengan bahu, kaki dengan kaki dan lutut dengan lutut ketika merapatkan shaf merupakan perkara baru.(14)

Syaikh Nashir Al-Albany -rahimahullah- berkata dalam menyanggah mereka, “Sungguh telah ada sebagian penulis di zaman ini yang mengingkari menempelkan (kaki) seperti ini dan menyangka bahwa itu adalah model baru (bid’ah) atas contoh yang ada dan bahwa di dalamnya terdapat sikap keterlaluan dalam menerapkan sunnah. Dia telah menyangka bahwa yang dimaksudkan dengan menempelkan adalah anjuran untuk menutupi celah shaf, bukan hakekat menempel. Ini merupakan ta’thil (peniadaan) terhadap hukum-hukum ‘amaliyah yang persis menyerupai peniadaan sifat-sifat Ilahiyah. Bahkan ini lebih jelek dibandingkan itu, karena rawi menceritakan tentang perkara yang disaksikan, terlihat oleh mata kepalanya, yaitu menempelkan. Sekalipun demikian ia masih tetap berkata: [“Bukanlah yang dimaksudkan hakekat menempelkan”] Wallahul musta’an”. (15)

Benar apa yang dikatakan oleh Syaikh Al-Albany bahwa menempelkan kaki, bahu dan lutut merupakan sunnah Nabi. Adapun beralasan dengan ketidakmampuan dan keengganan sebagian orang melaksanakannya, bukanlah hujjah dalam menggugurkan sunnah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, sebab kenyataannya cara tersebut bisa dikerjakan. Adapun orang yang enggan karena merasa sempit dadanya ketika ditempeli kakinya oleh kaki saudaranya, maka tak bisa dijadikan hujjah. Jika ada sebagian orang tak mampu menempelkan kakinya karena pada kakinya ada sifat kurang sempurna, maka bertaqwalah semampunya. Artinya, berusaha lakukan semampunya dan jika dia tetap tidak bisa, maka dia telah mendapat udzur.

Sekali lagi kami katakan bahwa meluruskan dan merapatkan shaf merupakan sunnah (baca: petunjuk) Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada para sahabat dan ummat beliau yang telah disaksikan oleh Anas bin Malik radhiallahu Ta’ala ‘anhu. Bahkan bukan hanya beliau (Anas), bahkan cara ini disaksikan oleh semua sahabat yang sholat di belakang beliau.

Coba dengarkan dengan baik penuturan seorang sahabat yang mulia yang bernama Nu’man bin Basyir -radhiallahu Ta’ala ‘anhu-, beliau menuturkan realita yang terjadi di zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, “Aku melihat seorang laki-laki menempelkan bahunya dengan bahu temannya, lututnya dengan lutut temannya, dan mata kakinya dengan mata kaki temannya”. (16)

Syaikh Husain bin Audah Al-Awayisyah berkata, “Dipahami dari pembahasan lalu bahwa meluruskan dan merapatkan shaf maksudnya adalah: 1-Seorang yang sholat menempelkan bahunya dengan bahu temannya, kakinya dengan kaki temannya, lututnya dengan lutut temannya dan mata kakinya dengan mata kaki temannya”. 2- Menjaga kesejajaran antara bahu-bahu, leher-leher dan dada. Tak ada leher yang berada di depan leher lainnya, tak ada bahu di depan lainnya dan tak ada dada di depan dada lainnya. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sungguh telah bersabda, “Janganlah dada kalian berselisih, lantaran itu, hati kalian akan berselisih”. (17)” (18).
Demi tersebarnya sunnah ini, maka kami anjurkan kepada para imam masjid agar meluruskan dan merapatkan shaf, serta berjalan memeriksa shaf yang masih renggang dan belum rapat, sebagaimana hal ini telah dilakukan oleh manusia yang terbaik, Nabi Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wasallam-.

Dari sahabat Nu’man bin Basyir -radhiyallahu anhu-berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَوِّي صُفُوْفَنَا حَتَّى كَأَنَّمَا يُسَوِّي بِهَا الْقِدَاحَ حَتَّى رَأَى أَنَّا قَدْ عَقَلْنَا عَنْهُ. ثُمَّ خَرَجَ يَوْمًا فَقَامَ حَتَّى كَادَ يُكَبِّرُ فَرَأَى رَجُلاً بَادِيًا صَدْرَهُ مِنَ الصَّفِّ فَقَالَ: عِبَادَ اللهِ ! لَتَسُوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ
“Dulu Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- meluruskan shaf kami sehingga seakan beliau meluruskan anak panah (ketika diruncingkan,pen), sampai beliau menganggap kami telah memahaminya. Beliau pernah keluar pada suatu hari, lalu beliau berdiri sampai beliau hampir bertakbir, maka tiba-tiba beliau melihat seseorang yang membusungkan dadanya dari shaf. Maka beliau bersabda, [“Wahai para hamba Allah, kalian akan benar-benar akan meluruskan shaf kalian atau Allah akan membuat wajah-wajah kalian berselisih”]”. (19)

Hukum Meluruskan dan Merapatkan Shaf
Berdasarkan hadits-hadits yang telah berlalu, para ulama kita menjelaskan bahwa meluruskan shaf dan merapatkannya merupakan perkara yang wajib atas setiap jama’ah sholat. Wajibnya hal ini dipahami dengan adanya perintah dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan juga ancaman beliau terhadap orang yang melalaikannya. Karena, jika memang meluruskan dan merapatkan shaf bukan perkara wajib tapi mustahab (sunnah/dianjurkan), maka tentunya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak akan memberikan perintah dan ancaman berkaitan dengan hal tersebut. Sebab sesuatu yang hukumnya mustahab (mandub/sunnah) boleh dikerjakan -dan itulah yang lebih baik- dan juga boleh ditinggalkan tanpa ada celaan. Jadi, apabila ada suatu perintah lalu diiringi dengan ancaman bagi orang yang meninggalkan perintah tersebut, maka ini menunjukkan bahwa hal itu hukumnya wajib. Dari sisi yang lain, seluruh perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam hukum asalnya adalah wajib, kecuali jika ada dalil lain menunjukkan bolehnya sekali-sekali tidak meluruskan shaf dan merapatkannya, maka hukumnya berubah menjadi mandub (sunnah/tidak wajib). Namun disana tidak ada dalil yang mengubah hukum asal ini, artinya tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- atau para sahabat pernah sekali tidak meluruskan dan merapatkan shaf. Maka diketahuilah dari semua hal ini bahwa meluruskan dan merapatkan shaf hukumnya adalah wajib.

Al-Imam Al-Ba’ly -rahimahullah- berkata, “Lahiriah (zhohir) pendapat Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyyah bahwa meluruskan shaf adalah wajib, karena Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah melihat seorang lelaki yang membusungkan dadanya (dalam shaf), maka beliau bersabda, [“Kalian benar-benar akan meluruskan shaf kalian ataukah Allah akan membuat hati-hati kalian berselisih”], beliau -‘alaihish sholatu was salam- juga bersabda, [“Luruskanlah shaf-shaf kalian karena meluruskannya adalah termasuk kesempurnaan sholat”] Muttafaqun ‘alaihi. Al-Bukhary membuatkan judul bagi hadits ini, (Bab: Dosa Orang yang Tidak Meluruskan Shaf)”. (20)

Al-Imam Ibnu Hazm Al-Andalusy -rahimahullah- berkata, “Diwajibkan atas kaum mukminin untuk meluruskan shaf –orang yang pertama lalu yang berikutnya-dan merapatkan shaf, serta menyejajarkan bahu dengan bahu serta kaki dengan kaki”. (21)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolany -rahimahullah- berkata ketika menjelaskan hukum meluruskan shaf, “Berdasarkan hal ini, maka ia adalah wajib dan berbuat kekurangan di dalamnya adalah haram”. (22)

Ibnul Mulaqqin -rahimahullah- berkata, “Konsekwensi segi yang pertama adalah wajibnya meluruskan shaf dengan adanya ancaman karena meninggalkannya”. (23)

Al-Imam Asy-Syaukani -rahimahullah- berkata ketika mengomentari hadits yang memerintahkan untuk meluruskan shaf, “Di dalam hadits tersebut terdapat keterangan wajibnya meluruskan shaf”. (24)

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-‘Utsaimin -rahimahullah- berkata seusai membawakan hadits yang berisi ancaman bagi orang yang tidak meluruskan shaf, “Tanpa ragu lagi, ini merupakan ancaman bagi orang yang tidak meluruskan shaf, karena itulah sebagian ulama berpendapat wajibnya meluruskan shaf. Mereka berdalil untuk hal itu dengan adanya perintah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- terhadap hal itu serta ancaman beliau karena penyelisihannya. Sesuatu yang telah datang perintah tentangnya dan juga ancaman karena menyelisihinya, ini tak mungkin dikatakan sunnah saja! Oleh karena itulah, maka pendapat yang terkuat dalam masalah ini adalah wajibnya meluruskan shaf, dan bahwa jama’ah jika tidak meluruskan shaf, maka mereka berdosa”. (25)

Syaikh Muhammad Nashir Al-Albany -rahimahullah- berkata ketika menyebutkan beberapa faedah dari sebuah hadits yang mengancam seseorang jika tidak meluruskan shaf, “Dalam kedua hadits ini terdapat dua faedah. Pertama: Wajibnya menegakkan, meluruskan dan merapatkan shaf karena adanya perintah untuk hal itu. Sedangkan asalnya segala perintah adalah wajib kecuali jika ada qorinah (korelasi) yang memalingkannya sebagaimana yang tertera dalam ilmu ushul. Namun qorinahnya di sini menguatkan wajibnya, yaitu sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, [“…ataukah Allah akan benar-benar membuat hati-hati kalian berselisih”]. Karena -tidak samar lagi bahwa- ancaman seperti ini tidak mungkin diucapkan terhadap sesuatu yang bukan wajib. Kedua: Pelurusan shaf tersebut adalah dengan cara menempelkan bahu dengan bahu dan tepi kaki dengan kaki, karena inilah yang dilakukan oleh para shahabat -radhiallahu ‘anhum- ketika mereka diperintahkan menegakkan dan merapatkan shaf. Karena itulah, Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath setelah beliau membawakan tambahan hadits yang aku datangkan pada hadits yang pertama dari ucapan Anas, [“Pernyataan ini memberikan faedah bahwa perbuatan (para sahabat) tersebut telah ada sejak zaman Nabi -Shallallahu 'alaihi wasallam-. Berdasarkan hal ini, maka sempurnalah pengambilan hujjah yang menjelaskan maksud menegakkan shaf dan meluruskannya”.(26)]. Di antara perkara yang kita sesalkan, sunnah ini -berupa pelurusan shaf- sungguh telah diremehkan oleh kaum muslimin, bahkan mereka telah menyia-nyiakannya kecuali sedikit di antara mereka. Sesungguhnya aku tidak melihat hal ini (meluruskan dan merapatkan shof) ada pada suatu kelompok di antara mereka kecuali pada ahlul hadits karena aku pernah melihat mereka di Makkah pada tahun 1368 H, mereka amat semangat berpegang dengannya sebagaimana halnya sunnah-sunnah Nabi Al-Musthofa -alaihish sholatu was salam- lainnya. Berbeda dengan yang lainnya dari kalangan pengikut madzhab-madzhab yang empat -aku tidak kecualikan Hanabilah-. Sunnah ini telah berubah menjadi sesuatu yang terlupakan di sisi mereka. Bahkan mereka saling mengikuti dalam meninggalkannya dan berpaling darinya. Demikianlah, karena mayoritas madzhab mereka telah menetapkan bahwa yang sunnah ketika berdiri sholat adalah merenggangkan di antara dua kaki sejarak 4 jari, jika melebihi, maka hukumnya makruh sebagaimana datang perinciannya dalam kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah (1/207). Ketentuan seperti itu tak ada asalnya dalam sunnah, itu hanyalah merupakan pendapat semata. Andaikan hal itu benar, maka harus dikhususkan bagi imam dan munfarid (orang yang sholat sendirian) agar sunnah-sunnah ini tidak dipertentangkan sesuai konsekwensi kaidah-kaidah ushul. Intinya, aku mengajak kaum muslimin -terkhusus lagi para imam masjid- yang memiliki semangat untuk mengikuti Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-dan mau memperoleh fadhilah menghidupkan sunnahnya -Shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk mengamalkan sunnah ini (yaitu meluruskan shaf,pen), bersemangat melakukannya dan mengajak manusia kepadanya sehingga mereka semua berpadu di atasnya. Dengan itulah, mereka akan selamat dari ancaman, [“…ataukah Allah akan benar-benar membuat hati-hati kalian berselisih”]. Pada cetakan ini aku tambahkan seraya berkata, ”Telah sampai kepadaku berita tentang seorang da’i bahwa ia meremehkan perkara sunnah amaliyyah ini yang telah dijalani oleh para shahabat dan ditaqrir oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Orang itu mengisyaratkan bahwa itu bukan dari hasil pengajaran Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada mereka. Namun orang ini tak sadar -wallahu A’lam- kalau itu merupakan pemahaman dari para shahabat, ini yang pertama. Yang kedua, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- telah mentaqrir mereka atas hal tersebut. Demikian itu sudah cukup bagi Ahlus Sunnah dalam menetapkan disyari’atkannya hal tersebut. Karena orang yang menyaksikan (langsung kejadian) bisa melihat sesuatu yang tak dilihat oleh orang yang absen. Mereka adalah suatu kaum yang tak akan celaka orang yang mengikuti jalan mereka”. (27)

Inilah sekelumit komentar tentang sunnah (baca: petunujuk) Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabat beliau dalam meluruskan dan merapatkan shaf. Semoga tulisan ini bisa menjadi pemicu bagi kita untuk mengamalkan sunnah ini dan sekaligus nasehat bagi orang-orang yang menyangka bahwa itu bukan sunnahnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabat. Semoga Allah menjadikan kita sebagai pengikut setia sunnah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan mematikan kita di atas Islam yang suci ini.

Terakhir, kami sampaikan nasehat kepada kaum muslimin -terutama para saudara kita yang menjadi imam masjid-, “Terapkanlah sunnah ini kepada jama’ah kalian, niscaya kalian akan mendapatkan pahala yang tinggi di sisi Allah. Namun jika kalian meremehkan hal ini, maka akan terjadi perpecahan dan kebencian di antara kalian dari arah yang tidak kalian ketahui sebabnya, akibat kalian telah melanggar petunjuk Allah -Ta’ala- dan Rasul-Nya -Shallallahu ‘alaihi wasallam-.

Ketahuilah, kalian akan ditanyai oleh Allah sebagai pertanggungjawaban atas segala perbuatan kalian pada hari anak dan harta benda tidak berguna lagi bagi kalian. Janganlah kalian menghalangi para hamba Allah yang mau mengamalkan sunnah ini, apa lagi membencinya. Karena kalian akan menjadi musuh Allah di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi, “Barang siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan peperangan baginya”.(28)

Jadi, orang yang memusuhi dan membenci orang yang menerapkan sunnah ini akan dimusuhi Allah, karena orang-orang yang melaksanakan sunnah berarti ia taat kepada Allah. Sedang wali Allah adalah orang yang taat kepada Allah. Maka takutlah kalian kepada Allah Ta’ala”.

=====================
 Catatan Kaki:
  1. Kata “sunnah” memiliki dua pengertian. Pertama: Sunnah bermakna sesuatu yang dianjurkan dan biasa diistilahkan mandub atau mustahab. Kedua: Sunnah bermakna “petunjuk “ yang pernah pernah dilakukan oleh Nabi-shollallahu alaihi wasallam- dan para sahabatnya. Definisi kedua ini mencakup perkara yang wajib maupun mandub/mustahab. Dalam tulisan ini jika kami menyebut kata “sunnah”, maka yang kami maksudkan sunnah menurut definisi kedua yang bermakna “petunjuk”. Kami tak gunakan istilah sunnah untuk mengungkapkan perkara yang mustahab/mandub. Ini kami jelaskan karena banyak orang yang salah paham dalam menggunakan istilah sunnah. Seperti jika kita katakan: Meluruskan dan merapatkan shaf adalah sunnah Nabi-shollallahu alaihi wasallam-. Serta merta ada yangmengatakan: Kenapa anda mewajibkan sesuatu jika memangnya sunnah ?!! Padahal sunnah yang kita maksudkan disini adalah bermakna “petunjuk” mencakup yang wajib maupun yang tidak wajib (baca: mustahab/mandub). Namun tentunya meluruskan shaf dan merapatkannya merupakan sunnah Nabi-shollallahu alaihi wasallam- yang hukumnya wajib, bukan mandub/mustahab. Akan datang penjelasannya, insya Allah Ta’ala. Semoga bisa dipahami.
  2. HR.Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’iy dan lainnya. Dishohihkan oleh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (743)
  3. Lihat Sunan Abu Dawud, hal.110 karya Sulaiman Ibnul Asy’ats As-Sijistany Al-Azdi, cet. Dar Ibnu Hazm, tahun 1419 H
  4. HR.Ibnu Majah Al-Qozwini dalam Sunan-nya (1004). Hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Muhammad Nashir Al-Albany -rahimahullah- dalam Shohih Sunan Ibnu Majah (1004) dan At-Ta’liq Ar-Roghib (1/335) cet. Maktabah Al-Ma’arif , tahun 1421 H
  5. HR.Al-Imam Ath-Thobrony dalam Al-Ausath (1/23/2). Hadits ini shohih lighoirihi sebagaimana yang dijelaskan Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah (2533)
  6. HR. Al-Imam Muslim dalam Shohih-nya (432)
  7. HR. Al-Imam Al-Bukhory dalam Shohih-nya (717), dan Muslim dalam Shohih-nya(436)
  8. HR. Al-Imam Al-Bukhory dalam Shohih-nya (719)
  9. Bagal:Hewan hasil perkawinan campur antara kuda dengan keledai.
  10. HR.Al-Bukhory (725)
  11. HR.Al-Bukhory (724)
  12. Lihat Al-Qoul Al-Mubin fi Akhtho’ Al-Mushollin, hal.207
  13. Lihat Fath Al-Bari (2/211)
  14. Lihat Laa Jadiida fi Ahkam Ash-Sholah, hal.13 karya Syaikh Bakr Abu Zaid-hafizhohullah-
  15. Lihat Silsilah Ahadits Ash-Shohihah (6/1/77) karya Al-Albany. Pada temapat lain beliau juga singgung hal ini. Lihat Ash-Shohihah (1/1/73-74)
  16. HR.Abu Dawud (662), Ibnu Hibban, Ahmad (4/276), dan Ad-Daulaby dalam Al-Kuna (2/86). Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah (32)
  17. HR.Ibnu Khuzaimah. Lihat Shohih At-Targhib (513)
  18. Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Muyassaroh (2/247-248)
  19. HR.Muslim dalam Shohih-nya(436)
  20. Lihat Al-Ikhtiyarot, hal.50 via Asy-Syarh Al-Mumti’.
  21. Lihat Al-Muhalla (4/52) via Minhaj An-Najah
  22. Lihat Fathul Bari (2/268) karya Al-Hafizh, ta’liq Ibnu Baz & Asy-syaibly, Darus Salam, 1421 H
  23. Lihat Minhaj An-Najah fi Wujub Taswiyah Ash-Shufuf fi Ash-Sholah (2/519) , cet. Maktabah Al-Furqon, Uni Emirat Arab, 1422 H.
  24. Lihat Nailul Author (2/454) karya Asy-Syaukani, cet.Dar Al-Kitab Al-Araby, 1420 H
  25. Lihat Asy-Syarh Al-Mumti’ ala Zad Al-Mustaqni’ (3/11) karya Al-‘Utsaimin, cet. Mu’assasah Aasam.
  26. Lihat Fath Al-Bari (2/211)
  27. Lihat Ash-Shohihah (1/1/72-74) karya Al-Albany. Kemudian Syaikh memberikan tambahan bagi ucapannya di atas pada kolom Al-Istidrokat dalam Ash-Shohihah (1/2/903) seraya berkata, “Lalu aku melihat sebuah pembahasan yang berfaedah milik salah seorang saudara kami di Makkah Al-Mukarromah -barokallahu fiih-. Dia mendukung (membela) sunnah yang kuat ini dalam risalahnya yang ia hadiahkan kepadaku “At-Tatimmat li Ba’dhi Masa’il Ash-Sholah”, hal.41-42. Maka silakan kitab itu dirujuk, niscaya anda akan mendapatkan tambahan ilmu dan faedah, insya Allah”.
  28. HR.Al-Bukhary dalam Kitab Ar-Riqoq (6502). Lihat Hidayah Ar-Ruwah (2/420) karya Ibnu Hajar, dengan takhrij Al-Albany, Cet.Dar Ibnul Qoyyim dan Dar Ibnu Affan, 1422 H.

Sumber:

Entri Populer

Ingin dapat Diskon 10% untuk stiap order herbal tanpa syarat, klik Like/Suka Fanpage kami di bawah ini